Rabu, 08 Oktober 2008

ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN : PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN DIRI DALAM KTSP

Oleh Sardjilah E.Marsana

PENDAHULUAN
Terkait dengan peningkatan mutu pendidikan pemerintah terus berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah dengan diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas No. 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas No 24 tahun 2006.
Peraturan tersebut memuat beberapa hal penting diantaranya bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang kemudian dikenal di masyarakat pendidikan dengan istilah KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga komponen yaitu: (1) Mata Pelajaran; (2) Muatan Lokal dan (3) Pengembangan Diri.
Sejak diberlakukan kurikulum yang mendasarkan pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan ini maka pada setiap satuan pendidikan (sekolah) diberikan kewenangan seluas-luasnya untuk melaksanakan kurikulum pendidikan seusai dengan karakteristik sekolah masing-masing. Hal ini berdampak kepada struktur kurikulum yang dikembangkan dan model kurikulum yang dijalankan. Sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa pada pelaksanaan komponen Pengembangan Diri akan sangat bervariasi tergantung kepada pemahaman sekolah dalam menterjemahkan program pengembangan diri untuk siswa pada satuan pendidikannya.
Pertanyaannya sekarang: Bagaimanakah model dan pelaksanaan pengembangan diri di sekolah?

MEMAKNAI PROGRAM PENGEMBANGAN DIRI
Komponen Pengembangan Diri merupakan komponen yang relatif baru dan berlaku untuk dikembangkan pada semua jenjang pendidikan dibandingkan dengan komponen mata pelajaran dan muatan lokal. Pelaksanaan program pengembangan diri di satuan pendidikan bertujuan agar siswa mendapatkan layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak didik secara optimal. Sehingga pendidikan yang dilaksanakan mempertimbangan analisis kebutuhan siswa (student need analysis) yang sangat beragam dalam potensi dan harapan-harapannya.
Secara konseptual, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 rumusan tentang pengembangan diri, sebagai berikut :
” Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Di samping itu, untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karir. Untuk satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik.”
Rumusan di atas memiliki implikasi bahwa program pengembangan diri dimaknai sebagai:
1. Program pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan, ini berarti bagian integral dari kurikulum satuan pendidikan sehingga wajar jika mendapat alokasi waktu/jadwal.
2. Program pengembangan diri bukan mata pelajaran sehingga tidak bisa diperlakukan sama dengan mata pelajaran dalam pembuatan program tahunan, semester dst dan perencanaan kegiatan di kelas dengan mata pelajaran yang mengenal adanya silabus dan RPP.
3. Program pengembangan diri berorientasi pada upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. Mengandung makna bahwa kegiatan tersebut berdasarkan pada kebutuhan anak didik dalam pengembangan bakat, minat, kreativitas dan potensi peserta didik dan dengan mempertimbangkan tugas-tugas perkembangan.
4. Program pengembangan diri di sekolah dilaksanakan dengan kegiatan ekstrakurikuler dan layanan bimbingan dan konseling. Secara penjadwalan kegiatan ektrakurikuler terlihat sudah mapan dibandingkan dengan layanan BK sehingga dengan tanda bintang (*) memiliki makna yang beragam di sekolah.
5. Pada satuan pendidikan kejuruan kegiatan pengembangan diri diarahkan pada kegiatan pengembangan diri khususnya layanan BK ditujukan pengembangan kreativitas dan karier. Hal ini disesuaikan dengan tujuan SMK yang membekali siswa siap memasuki dunia kerja.
6. Pada satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. Kecakapan hidup untuk membekali siswa bisa mandiri tidak tergantung dengan orang lain yang berupa kegiatan pembiasaan, ketrampilan dan pengembangan bakat dan minat.
IMPLEMENTASI PROGRAM PENGEMBANGAN DIRI PADA SATUAN PENDIDIKAN
Pemberlakuan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan membawa era baru berpikir pada para penyelenggara pendidikan di satuan pendidikan baik dari TK sampai dengan SMA/SMK. Cara berpikir yang sentralistrik dengan mengedepankan menunggu juklak dan juknis, beralih kepada desentralistik yang mendasarkan pada pemberdayaan segenap potensi sekolah. Paradigma penyelenggaraan pendidikan seperti ini ternyata tidak serta merta mendapat respon yang mendukung oleh guru. Sehingga berakibat kepada beragam model pelaksanaan pengembangan diri di sekolah dengan indikasi sebagai berikut:
1. Sejak digulirkan pada tahun 2006 wacana program pengembangan diri masih dipahami sebagai kegiatan pembiasaan seperti halnya kegitan upacara, ceramah-ceramah, keteladanan, sholat berjamaah, membuang sampah.
2. Kegiatan pengembangan diri hanya kegiatan ekstrakurikuler, sehingga BK hanya mengurusi anak-anak yang bermasalah saja
3. Program pengembangan diri pada struktur kurikulum dimaknai boleh tidak dijadwalkan
4. Layanan Bimbingan dan Konseling belum dilaksanakan secara optimal, guru BK lebih nyaman dengan menunggu masalah yang datang.
5. Dalam realitas pelaksanaan kegiatan pengembangan diri pada jalur ekstrakurikuler belum sepenuhnya mengakses bakat dan minat peserta didik dalam mengembangkan potensinya.
6. Kebanyakan sekolah masih terpaku dengan dengan menyodorkan kegiatan yang sesuai dengan kemampuan sekolah. Seakan-akan siswa minat siswa hanya diwakili dengan kegiatan yang ada pada sekolah.
7. Walau telah disosialisasi baik melalui LPMP, Dinas Pendidikan, atau forum-forum MGMP/KKG, Program pengembangan diri belum tersosialisasi secara merata, khususnya pada layanan BK secara administrasi mengalami banyak perubahan.
8. Masih beragamnya pemahaman pengembangan diri oleh manajemen sekolah dan pengawasterutama peran layanan BK di era KTSP yang meningkat lebih eksis.

UPAYA MENEMUKAN PEMECAHAN MASALAH
Tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Melihat permasalahan-permasalahan di atas ada beberapa langkah untuk menjawabnya antara lain:
1. Penuntasan sosialisasi dan kajian tentang program pengembangan diri pada semua waraga sekolah bersama manajemen sekolah dan pengawas.
2. Adanya keterbukaan dalam mengakses informasi program-program sekolah
3. Membuat kerjasama dengan lembaga lain (Klub, sanggar tari, kursus) untuk memberikan jalan keluar pengembangan diri sesuai dengan minat dan bakat peserta didik
4. Membangun komitmen para penyelenggara program pengembangan diri baik bidang ekstra maupun layanan konseling.
5. Penciptaan suasana yang kondusif untuk terciptanya prestasi kerja yang unggul pada setiap satuan pendidikan
6. Membangun motivasi untuk maju dan update

PENUTUP
Kesempatan ini adalah kesempatan yang sangat berharga untuk mempertemukan hati dan pikiran kita, bersama-sama membangun generasi yang cerdas dan kompetitif yang dilandasi dengan iman dan akhlak mulia.
Sebagai penutup kita renungkan tulisan berikut:
Alkisah, disebuah hutan antah berantah, berdirilah sekolah baru bagi seluruh warga hutan. Sekolah ini memiliki fasilitas dan kurikulum lengkap, sehingga diklaim menjadi sekolah standar A+ berdasarkan maklumat dari pemerintahan Raja Hutan. Sebagai sekolah favorit, siswanya tentulah ramai. Ada si bebek, si kancil, si burung elang, sampai si tikuspun bersekolah disini.
Namun ada kegalauan dihati emak si Tikus, semenjak disekolahkan, si Tikus rajin sekali belajar hal baru. Belajar manjat pohonlah, belajar terbang, belajar menggali tanah sampai belajar berenang. Emak si Tikus gak tahan juga, dan akhirnya bertanya,
“Nak, emang disekolah harus belajar gitu segala? ” Tanya emak tikus pada anaknya.
“Iya mak. Disekolah kita diblajari semuanya mak..” Jawab si anak yang lagi belajar terbang.
“Tapi kalo gini, sampai kapanpun kamu gak akan pernah berhasil nak, nilai kamu bakal jelek terus untuk pelajaran berenang, apalagi terbang” timpal emak sedikit resah.
“Habis Kurikulum sekolah mengharuskan kita belajar ini sih mak, jadi mo gimana lagi?” balas menimpali si anak.
“Boleh saja belajar hal yang baru, tapi kamu memiliki kecerdasan hakiki (mengerat) yang harus kamu kembangkan nak..Jangan-jangan karena terlalu banyak belajar hal baru, kamu lupa bagaimana caranya mengerat. Akhirnya apa, kamu tidak memiliki kemampuan cukup karena hasilnya malah setengah semua, terbang gak bisa, mengerat yang jadi keahlianmu pun lupa…” Ungkap emak.
“Benar juga ya mak! Temenku si burung Elang pun sekarang aneh. Dia sering lupa bagaimana caranya terbang karena keasyikan belajar berenang. Keahlian utamanya malah gak berkembang…” Ujar si anak Tikus sembari berhenti dari kegiatannya.
“Ya udah, besok emak bersama orangtua murid akan menghadap komite sekolah, gimana solusinya agar siswa berkembang optimal. Apakah harus menggunakan kurikulum KTSP seperti yang emak denger dari bangsa manusia..” Kata si emak sembari menyiapkan minuman buat si anak.
“KTSP ? Apa lagi tu mak?” Tanya si anak heran.
“KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ciptaan bangsa manusia. Intinya bagaimana mengoptimalkan kecerdasan siswa yang ternyata beragam, majemuk. Meski sama namanya, manusia, tapi mereka benar-benar berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, tidak ada lagi panggilan bodoh/goblok. Yang ada dia tidak cerdas pada bidang tertentu, tapi cerdas dibidang yang lain…” Jelas si emak.
“Wah, bisa diterapin gak ya mak di negeri hutan? Keknya KTSP bisa jadi solusi untuk mendongkrak kecerdasan hakiki tiap siswa disekolahku mak..”
“Tergantung bagaimana guru mengolah kurikulum tersebut. Lagi pula kita tunggu juga hasilnya, karena KTSP masih setengah jalan. Bangsa manusia sendiri masih kebingungan untuk menerapkannya…” si emak menjelaskan.
“Tambah berat dung beban guru ya mak? Berarti dia harus memiliki kecerdasan yang mewakili tiap individu yang berbeda…ckk…ck..ck..salut buat guru…” Terkagum-kagum si anak mendengar penjelasan emaknya.
“Makanya, buat kamu yang otaknya sedikit, jangan jadi guru. Mending kamu cari kerjaan lain. Lagi pula jadi guru gajinya kecil, tapi tuntutannya besar. Tapi anehnya, bangsa manusia tau itu, tapi mereka seolah tak mau tahu…dah nggih, mandi sono…badan kamu bau..” Kata emak menutup pembicaraan (Setiawan dalam Akhmad Sudrajad)
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. (2006). Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,. Jakarta : Depdiknas.
____. (2006). Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
____, (2006). Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23,Tahun 2006
Prayitno, dkk. (2004). Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.
Sofyan S. Willis. (2004). Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.
Sudrajad, A (2008) Guru dan KTSP. Kumpulan Materi Blog

*) Sarjilah adalah widyaiswara spesialisasi Bimbingan dan Konseling